TEORI STRES

A.        STRES

Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami. Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo, 1990).

Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor) yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan, konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal (Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990).

Tingkatan stres yang dirasakan oleh individu ketika merespon peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya tergantung besarnya kecocokan antara aspek-aspek dalam diri individu dengan aspek-aspek yang ada dalam lingkungan. Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan individu dengan oranglain.

Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah hal yang sangat penting  (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami individu.

B.        PENANGANAN STRES (COPING STRESS)

1.         Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)

          Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan. Orang-orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai “constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and/or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the resources of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang.

Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993). Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006). Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010), menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres tersebut.

Secara teknis, coping didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan individu untuk menangani tuntutan dalam situasi yang stressful. Ketika individu sedang berusaha untuk coping, ia akan mencoba untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan dari situasi stressful dengan  kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut (Coyne & Holroyd, dalam Rice, 1992). Idealnya, individu akan memfokuskan usaha mereka untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi, tetapi untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan situasi dan kemampuan mereka sendiri, mereka terkadang juga melarikan diri atau menghindari situasi yang mereka anggap mengancam atau bisa saja mereka secara pasif menerima situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

            Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang menekan. Menurut Dalton dkk. (2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan ancaman lingkungan.

Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis. Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007) menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya dan penilaian yang terus menerus.

Dalam literatur-literatur ilmiah, berbagai konsep mengenai coping pun telah banyak dikembangakan. Salah satunya konsep coping yang dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut. fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.

Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan Emotion-focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2.         Strategi Coping Stress

            Moos (1993) mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua kategori yaitu Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan Avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres tersebut.

Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.

            Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir (Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan Avoidance Coping mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton, 2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya Approach Coping diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres. Sedangkan Avoidance Coping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).

            Penelitian mengenai coping pun terus dilakukan. Beberapa peneliti menjelaskan penggunaan coping dengan lebih spesifik dan mendalam. Stone dan Neale (dalam Taylor, 2009) mengembangkan alat ukur mengenai penggunaan coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak. Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng, dalam Taylor, 2009).

            Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.

a.                  Approach-Oriented Coping

          Approach-Oriented Coping merujuk pada strategi kognitif dan perilaku yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan, penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :

1)      Logical Analysis

Logical analysis adalah usaha kognitif yang dirancang untuk memahami dan mempersiapkan seseorang secara mental untuk menangani suatu stressor dan konsekuensi dari stressor tersebut. Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan cara-cara tertentu dan cara yang berbeda untuk menerima suatu permasalahan.

2)      Positive Reappraisal

Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang mengalami permasalahan yang sama.

3)      Seeking Guidance and Support

Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor. Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta pertolongan mereka.

4)      Problem Solving

     Problem solving merupakan usaha perilaku untuk menerima secara langsung permasalahan dan memecahkan masalah tersebut. individu yang melakukan pemecahan masalah akan membuat suatu perencanaan-perencanaan tentang perilaku apa yang sebaiknya ia ambil, lalu kemudian menjalankan perencanaan tersebut.

                Avoidance-Oriented Coping

            Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu

1)      Cognitive Avoidance
Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.

2)      Acceptance or Resignation          
Acceptance or resignation merupakan suatu usaha kognitif untuk merespon masalah dengan menerima dan memasrahkannya, karena berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada permasalahan tersebut. Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada lagi harapan pada situasi yang mereka hadapi.

3)   Seeking Alternative Reward
Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan mencari kepuasan dalam bentuk lain.

4)      Emotional Discharge
Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada dalam diri mereka.

3.         Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

            Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya (resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri (internal) dan luar diri (eksternal).

a.       Sumber daya internal

1)      Karakteristik Kepribadian

Peneliti telah menunjukkan bahwa karakteristik yang ada dalam masing-masing individu akan memperngaruhi bagaimana cara mereka mengelola peristiwa-peristiwa yang menekan yang dikaitkan dengan penurunan distres dan kesehatan yang lebih baik (Taylor & Stanton, 2007). Karakteristik kepribadian ini bisa berupa keterampilan mengatur diri (self regulation skilss), self esteem, self efficacy, optimism, dan personal control

2)      Usia

Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan usianya (Sarafindo & Smith, 2011).

3)      Jenis Kelamin

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in stress and coping styles, ia menyatakan bahwa pada umumnya perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam menggunakan strategi avoidance coping dan berorientasi pada emosi.

b.      Sumber daya eksternal

1)      Materi

Materi yang dimiliki oleh individu bisa berupa uang, pekerjaan, rumah, makanan, pakaian, transportasi, dan asuransi kesehatan. Lebih spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30 dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya, menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif bencana.

2)      Lingkungan Sosial dan Budaya

Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).

3)      Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007). Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat, teman, dan komunitas sosial.

4)      Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, yang mana jika semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin berkembang pulalah kognitifnya, dan ini akan mempengaruhi bagaimana penilaian individu terhadap lingkungannya. (Sarafindo dan Smith, 2011)

    Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama, sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

Share:

0 Comments:

Posting Komentar