Kebahagian orang lain tidak bisa kita nilai

Kebahagian orang lain tidak bisa kita nilai, yaa...

Melihat kakakku sekarang. Setelah menikah dan memutuskan ikut dengan suaminya, membuatku banyak belajar.

Kakakku menikah di usia 25, lalu pindah ikut dengan suami. Menetap di daerah perkebunan yang jauh dari kota. Tinggal di desa dengan kondisi sulit listrik, sulit air, dan sulit teknologi. Ia bahkan memutuskan tidak lg menggunakan hape.
Ia sarjana ekonomi, namun sekarang bekerja dengan suaminya mengurus ladang, juga mengambil beberapa kerjaan sampingan yg juga berhubungan dengan ladang. Perlu kujabarkan, ia bukan mengawasi tetapi turun langsung mengurus. Mulai dari kegiatan membuka hutan, menyemai, menanam, memupuk sampai pada transaksi jual beli dengan agennya.

Dengan kami, ia menjadi jauh, seperti putus kontak. Dulu yg begitu dekat, aku tidak tahu lg bagaimana kabarnya. Paling ia hanya menelfon bunda saat hari2 penting, selebihnya aku tidak tahu keadannya.

Kemudian di awal desember kemarin, ia datang ke rumah. Kulihat banyak perubahan pada fisiknya. Kulitnya semakin cokelat, badannya kurus, tampilannya menjadi sangat simpel sekali. Tanpa bedak. Tanpa style ribet ala ala dia.

Banyak ia bercerita tentang kesehariannya. Yang aku nilai jauh dari kesan “modern”. Ya aku juga tidak modern2 amat, tetapi kan tidak juga masak dengan api, tidak ada hape, akses puskesmas jauh, juga pergi berobat ke ‘orang pintar’.

Melihat dia seperti itu, tentu menjadi perbincangan di rumah, berbicara di depan dia atau tidak. Orang2 di rumah menyatakan bahwa mereka prihatin (aduh, adakah bahasa yg lebih baik dari pada ini?) Bunda jadinya masak banyak, bikin cemilan ini itu. Menyuruh si kakak bongkar2 barang mana tau ada yg bisa ia bawa. Bunda juga menawarkan banyak hal, bahkan ingin beli ini itu untuk keperluan rumah tangganya, yang kemudian di tentang oleh ayah agar tidak terlalu banyak mencampuri.

Sedangkan bagiku. Melihat ia sejujurnya aku juga tidak sepenuhnya kasihan. Entah karena rasa empatiku memang kurang atau apa. Melihat dia aku biasa saja. Diluar tampilan fisiknya berubah, aku rasa, dalamnya ia tidak berubah.

Dia tetap begitu saja. Mengalir. Tetap dia dengan sikap cueknya yg ‘dont care’ dengan dunia sekitar. Tetap dia dengan prinsip ‘aku ya aku’nya. Tetap dia yang selalu ceria seperti tidak ada kerumitan di dunia ini.

Jadi kuputuskan untuk tetap santai. Tetap kulihat ia dengan rasa yang sama, dengan keyakinan bahwa sangat tidak berhak bagiku untuk menilai apakah dia bahagia atau tidak.
Share:

Menghitung 23

Sungguhlah waktu itu menjadi begitu berharga buat mereka yang terpisah oleh jarak.

Pertemuan menjadi sesuatu yang ditunggu tunggu.

Aku rindu. Sehingga rasanya ingin sekali menghabiskan semua waktu ketika bertemu. Tidur menjadi tidak lagi penting. Berharap malam memanjangkan waktunya.

Seperti malam kemarin.
Agaknya kurang baik memang bermalam minggu sampai lewat tengah malam. pulang dini hari. Tapi aku tak peduli. Rasanya ingin berlama lama saja. Duduk berdua, bercerita, bercanda, menghabiskan malam yang terasa singkat itu.

Hari ini, saat sudah berjauhan kembali. Aku ingin sampaikan salam dari si tanggal 23. Dia berharap semoga tanggal 23 akan selalu ada dan tidak akan pernah usai dalam perjalanan kita.

 Happy Mensiversary, sayang.



Share:

50 tahun Ayah

Tepatnya tanggal 26 Oktober kemarin lelaki-ku ulang tahun. Usianya memasuki 50 tahun. Setengah Abad. Waktu yang cukup panjang dengan sejuta perjalanan yang telah dilalui.

Dulu kalau orang bertanya udah punya pacar belum? Aku selalu jawab udah, maksudku ya ayahku itu pacarku. Atau kalau ayah nelfon disaat aku sedang bersama teman-teman, aku sering refleks bilang “eh pacarku nelfon”.

Waktu kemudian melesat cepat, kami beranjak dewasa. Tetapi tetap ayah selalu dihati. Menjadi lelaki pertama yang kukenal. Menjadi lelaki pertama yang selalu kupercaya dan kubanggakan. Dan akan selalu begitu, tidak akan pernah berubah.

Hari ini, kami rayakan ulang tahun buat ayah. Tidak mewah, karena memang tidak tahu kami bagaimana caranya bermewah-mewah. Sederhana saja, semoga berkesan dihati.

Selamat ulang tahun ayah ku. 

Share:

Sedang Tidak Baik

Kegagalan rasanya sudah berulang kali datang. Tetapi bagiku, emosi yg muncul akan selalu sama. Padahal katanya jika kita diterpa hal yg sama berkali-kali, akan ada seperti efek jenuh. semacam pembiasaan dan adaptasi, sehingga pengaruh efeknya berkurang bahkan membuat kita menjadi ‘kebal’. Tapi ini tidak. Aku mendapatkan kegagalan hari ini. Dan rasanya sama. Buruk.

Mungkin kecewa dan sedih merupakan respon umum yang diberikan ketika mengalami hal tsb, bahkan tak jarang muncul juga pemikiran “apa yang salah?” “aku kurangnya dimana?” “kenapa bla bla bla?” “padahal udah banyak yg dikorbankan” selanjutnya dalam beberapa kasus, kita bahkan menjadi si pengandai-andai, “kalau saja kemarin begini, kalau saja begitu, bla bla bla”.
Sampai pada akhirnya kita lelah berpikir, lelah untuk bertanya. Sampai pada akhirnya, kita mau tidak mau diharuskan untuk menerima lalu kembali melanjutkan ‘perjuangan’.

Proses ini aku pahami berada dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Bisa cepat, bisa juga lama. Tergantung daripada masing2 kita. Barangkali, hal-hal seperti ini juga tidak menjadikan waktu sebagai barometer yg penting.

Bagiku, menerima ini bukan cuma sekedar memahami bahwa ini bukan rezekiku, memahami bahwa inilah yang terbaik. Bukan.
Bagiku, menerima adalah melepaskan. mengikhlaskan.
Bagiku, menerima adalah usaha untuk melanjutkan dan mencoba kesempatan lain.

Sehingga yang menjadi terpenting dalam urusan ini adalah optimisme. kemauan untuk tetap hidup.


“it’s okay. all okay”
Share:

23!

Bagiku, ini seperti lucu.
Bagaimana bisa seseorang yang baru kau temui bisa menjadi seseorang yang sangat kau percaya?
Bagaimana bisa seseorang yang hanya sebentar saja kau kenali bisa menjadi tempat ternyaman mu?
Bagaimana bisa seseorang yang tiba-tiba datang ke hidupmu menjadi bagian penting dalam hidupmu?
Bagaimana bisa seseorang itu membuatmu berhenti memikirkan orang-orang yang dulu pernah ‘ada’?

Untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab itu. Aku mau katakan...
Selamat tanggal 23 syg❤


ps: foto diatas diambil dari cover novel "episode hujan"
Share:

Berbicara Tentang Kehidupan

Waktu akhirnya akan membawa kita pada topik ini, kehidupan. Kita sendiri juga pada akhirnya akan bertanya-tanya, kemudian mencari tahu dan selanjutnya terus berusaha memahami semua tentang ini. Kehidupan.

Jadi, mari kita bicarakan.
Atau kali ini biar saya saja yang bicarakan. Tentang waktu dan Keinginan diri sendiri yang terus mendorong saya untuk berpikir, berpikir, dan berpikir.

Untuk itu, ayo kita flashback sebentar.
Kalau ditanya apa saja yang sudah saya alami selama 21 tahun hidup. Tentunya ada banyak hal, banyak sekali malah. (dan ya hal-hal itu sebenarnya sama saja dengan orang-orang lainnya lalui). Tapi disini saya berusaha memahami. Saya kembali pada masa-masa yang lalu di hidup saya dan mencoba memikirkan lebih dalam, menganalisa setiap peristiwa yang terjadi, mengingat kembali hal-hal yang sudah terlewati dan mengaitkan/menghubungkan antara satu kejadian dengan kejadian lain juga menarik hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dengan yang lain atau peristiwa yang lalu dengan peristiwa yang saya alami dimasa sekarang. Hasilnya? Saya tercengang. Saya takjub. Saya terharu. Iya. Begitu.

Baiklah.... baiklah. sini saya ceritakan beberapa hasil analisa berpikir saya (biar sok ilmiah).
Dalam menjalani hidup ini, hidup saya yang baru memasuki tahapan dewasa awal ini, saya banyak dipermainkan oleh Takdir. (iya, semua orang juga begini). Iya! Tapi biarlah saya ceritakan bagaimana si Takdir ini ‘mempermaikan’ hidup saya.

Begini, saya ini tipe manusia yang termotivasi oleh hal-hal yang berhubungan dengan Achievement (Pencapaian). Hal-hal yang berhubungan dengan achievement ini akan saya perjuangkan, sampai mati-matian dan berdarah-darah kalau memungkinkan. Iyaa. Dari semua cerita-cerita perjuangan saya, beberapa diantaranya saya dapatkan, beberapa lagi dibelokkan ke arah yang tidak disangka-sangka, dan sisanya katakanlah tidak saya dapatkan.

Nah, salah satu cerita saya yang ‘dibelokkan’ ini adalah ketika saya lulus di jurusan S1 Psikologi, jurusan yang sama sekali tidak pernah terpikir untuk dimasuki oleh saya.
Psikologi? yang ilmunya 180 derajat bertentangan dengan kepribadian dan cara berpikir saya. Maksudnya gini, apapun yang kalian pikirkan tentang orang-orang psikologi (bagaimana kepribadiannya, pola pikirnya, sikapnya, dan cara pandangnya) nah pikirkanlah kebalikannya. Dan itulah saya. Pokoknya begitu. Psikologi itu bukan tipe sayalah, bukan tipe saya pake banget. Akan tetapi, takdir membawa saya kesini. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Saya bertanya-tanya, dan ini jawabannya : inilah yang terbaik buat saya. Psikologi membawa saya pada banyak hal, terutama tentang mengenal diri sendiri, tentang memperbaiki hal-hal yang buruk dalam diri dan tentang bagaimana melihat ‘dunia’ dari berbagai sudut pandang. Psikologi dan pengalaman yang saya dapatkan selama ‘kuliah’ disini mengubah saya. Banyak mempengaruhi setiap aspek hidup saya.

Untuk hal-hal yang jauh lebih spesifik yang saya pikirkan tentang takdir dan hidup. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kita sama sekali tidak bisa berandai-andai. Seandainya begini, seandainya begitu. Sering kan, sering ini kita lakukan “seandainya aja aku dilahirkan dengan keadaaan bla bla bla” “atau seandainya saja aku sekolah di A atau kuliah di B atau kerja di perusahaan C, pasti aku bla bla bla” dan banyak seandainya-seandainya yang lain. Ini tentu tidak bisa. Tidak akan bisa kita berandai-andai. Semua aturannya sudah tersusun rapi di langit. Karena begini dan sudah jelas ini, apapun yang kita dapatkan hari ini, ini adalah hasil dari apa yang kita lakukan kemarin-kemarin, dimasa lalu. Dan apapun itu yang kita dapatkan di masa depan adalah hasil dari yang kita lakukan sekarang dan berkaitan juga dengan yang kita lakukan di masa lalu. Aturannya sudah jelas dan tersusun rapi. Jadi, sekali lagi. Tidak ada ceritanya berandai-andai. Kalau memang kita mau, ayolah usaha! Diperjuangkan! Selanjutnya... biar Takdir saja yang memutuskan. Yang penting sudah diusahakan. Sudah diperjuangkan. Begitu.

Iya. Jadi begitu.
Iya. Jadi mari saya simpulkan saja cerita saya yang acak itu. Semoga penjelasannya lebih sederhana.

Begini sodara-sodara.
Bahkan, sebelum kita lahirpun, Takdir hidup kita ini sudah ditentukan.
Untuk hal-hal yang namanya takdir tetap/absolut/tidak bisa diubah, ini wajib diterima! (yaitu tentang siapa ayah kita, siapa ibu kita, siapa saudara kandung kita, suku bangsa kita, ciri fisik kita, dll).
Nah, untuk takdir-takdir yang tidak tetap/bisa diubah, ini bisa kita perjuangkan, bisa kita usahakan. Toh kita juga tidak tahu kita ditakdirkan bagaimana, kita tidak tahu di masa depan kita bakalan jadi apa. Makanya, hiduplah dengan penuh usaha! Hiduplah sebagai sebuah perjuangan! Kemudian jemputlah takdir-takdir hebat hidup kita!
Share: